Senin, 24 Oktober 2011

Pendidikan Seni, Untuk Apa....???

Seni atau kesenian tampaknya harus mengalami kenyataan paling sial dalam dunia pendidikan. Ia pernah ‘dimanjakan’ pada era 50-60an, tetapi lalu ‘dianak-tirikan’ di sepanjang masa Orde Baru. Bahkan dalam beberapa tahap Pembangunan Lima Tahun (pelita), pendidikan seni nyaris musnah atau, di sejumlah sekolah, diposisikan sebagai ekstra-kurikuler. Menjelang orde politik terpanjang itu berakhir, muncul upaya di banyak tempat untuk memasukkan kembali seni ke dalam intra-kurikuler, tetapi itupun ternyata harus dipaket ke dalam apa yang kemudian dikenal sebagai muatan lokal (mulok). Suatu paket pendidikan yang terkesan sebagai basa-basi politik.

Tetapi, marjinalisasi (penganak-tirian) seni dalam sekolah formal itupun juga sering dituduh atas kemauan politik. Rezim Orde Baru yang memprioritaskan sektor ekonomi dan industri di satu sisi dan cenderung memosisikan kebudayaan terutama kebudayaan daerah sebagai ‘ancaman’(baca: GBHN 1973-1993) di sisi lain sangat berpengaruh pada perencanaan pendidikan kita. Orientasi pada penguasaan ilmu alam, teknologi, dan matematika dalam kurikulum jauh lebih menonjol ketimbang pada ilmu sosial, bahasa, apalagi kesenian. Akibatnya, bidang-bidang pengetahuan dan ketrampilan tersebut mendapat prioritas berlebih.

Seni atau kebudayaan pada umumnya, kala itu dan mungkin hingga sekarang, menghadapi situasi dan berada dalam posisi yang dilematis. Ketika dipandang sebagai ungkapan keindahan tertentu atau persoalan estetika, ia diposisikan tak lebih dari sebuah klangenan, tontonan, dan pelipur lara. Sementara manakala dipandang sebagai ekspresi pandangan dan sikap tertentu atau lebih luas sebagai ungkapan aspirasi, maka iapun lalu dianggap sebagai ‘ancaman’ terhadap integrasi nasional yang dirumuskan secara politik dan militer. Sebagai persoalan estetika maupun ‘ancaman’ politik, seni dan kebudayaan lalu menjadi tak penting bagi kepentingan industri, ekonomi, dan politik. Oleh sebab itu, para petinggi Orde Baru menganggap tak perlu memberikan ruang belajar baginya dalam pendidikan formal.

Pandangan bahwa seni adalah sekedar klangenan atau pelipur lara memang bukan monopoli elite politik Orde Baru. Para budayawan secara umum dan akademisi kampus di bidang kebudayaan masa itu, dan sepertinya hingga sekarang, juga tak jauh berbeda. Seni lebih dilihat sebagai hanya untuk keperluan eksternal seniman yang bersangkutan, bukan untuk memenuhi kebutuhan diri sang seniman dan kelompoknya. Mungkin ini sangat berkaitan dengan ‘ideologi’ pendiri dan pendukung manifest kebudayaan yang selalu berkampanye “seni untuk seni”, tetapi implikasinya adalah seni menjadi berjarak dengan diri dan komunitas, apalagi dengan problem-problem sosial yang menghimpit warga masyarakat lebih luas.

Lebih jauh lagi, seperti yang dilihat para penentu pendidikan, seni hanyalah semacam ketrampilan menggerakkan tangan-kaki-tubuh, bersuara, menghafal, bertutur, menggores benda keras, menyaput, mengguratkan pena, dan seterusnya. Oleh karenanya, pendidikan seni di sekolah hanya dimaksudkan untuk melahirkan anak-didik yang trampil berkarya seni, atau seperti yang sering diajukan sejumlah pengamat seni, generasi pekerja seni.

Mengembalikan makna subtansial seni sebagai bagian terpenting dari diri seseorang dan komunitas menjadi teramat penting dan tak mungkin ditunda. Karena hanya dengan makna seperti itu, pendidikan seni akan melahirkan generasi yang berkebudayaan, manusia yang berperan dalam kemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar